SKIZOFRENIA
2PA05
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
Tahun Ajaran 2016/2017
A. Pengertian Skozofrenia
Menurut Davidson (2012) Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran emosi, dan perilaku-pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak saling berhubungansecara logis; persepsi dan perhatian yang keliru; afek datar atau tidak sesuai; dan berbagai gangguan aktivitas bizarre. Pasien menarik diri dari banyak orang dan realitas, seringkali kedalam kehidupan fantasi yang penuh waham dan halusinasi.
Skozofrenia termasuk dalam salah satu gangguan mental yang disebut psikosis, pasien psikotik tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas (Setiadi, 2006).
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah. (Rudyanto, 2007).
Eugene Bleuler mengemukakan manifestasi primer skizofrenia ialah gangguan pikiran, emosi menumpul dan terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan menumpulnya emosisebagai gejala utama daripada skizofrenia dan adanya halusinasi atau delusi (waham) merupakan gejala sekunder atau tambahan terhadap ini (Lumbantobing, 2007).
Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Kaplan and Sadock, 2010).
Sejarah Konsep Skizofrenia
Konsep Skizofrenia pertama kali di formulasikan oleh dua psikiater Eropa, Emil Kraepelin dan Eugen Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai dementia praecox, istilah awal untuk Skizozrenia pada tahun 1898. Dia membedakan dua kelompok utama psikosis yang disebutnya endogenic, atau disebabkan secara internal: penyakit manik-depresi dan dementia praecox. Meskipun berbagai gangguan tersebut secara simtomatik berbeda, Kraepelin yakin mereka memiliki kesamaan inti dan istila dementia praecox mencerminkan apa yang diyakininya merupakan inti tersebut-yaitu terjadi pada usia awal (praecox) dan perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriorasi intelektual progresif (demensia).
Pandangan Eugen Bleuer, mencerminkan upaya spesifik untuk mendefinisikan inti gangguan dan mengubah titik berat Kraepelin pada usia terjadinya gangguan dan pada perjalanan penyakit dalam defenisinya. Pendapat Bleurer berbeda dengan Kraepelin terkait dua poin utama: ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak selalu terjadi pada usia dini, dan ia yakin gangguan tersebut tidak akan berkembang menjadi demensia tanpa dapat dihindari. Dengan demikian, sebutan dementia Praecox tidak sesuai lagi, dan pada tahun 1908 Bleurer mengajukan istilahnya sendiri, Skizofrenia, yang berasal dari bahasa Yunani schizein, yang artinya “membelah“, phren, yang artinya “akal pikiran”, untuk mencakupkan apa yang menurutnya merupakan karakteristik utama kondisi tersebut.
Konsep Skizofrenia yang diperluas di Amerika Serikat merupakan pengaruh besar dari Bleurer. Selama paruh pertama abad ke 20 diagnosis tersebut semakin meluas. Presentasi pasien yang didiagnosis sebagai skizofrenik di rumah sakit Maudsley di London, meningkat 20 persen dalam kurun waktu 40 tahun (Kuriansky, Deming & Gurland, 1974, dalam Gerald, 2012).
Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis skizofrenia di AS dapta diketahui dengan mudah. Beberapa figure penting di dunia psikiatri AS lebih memperluas konsep Skizofrenia Bleurer yang pada dasarnya sudah luas. Contohnya, pada tahun 1933, Kasanin menggambarkan Sembilan pasien yang didiagnosisi menderita dementia praecox. Pada mereka gangguan tersebut timbul secara mendadak dan penyembuhannya relative cepat. Mengamati bahwa gangguan yang merak alami dapat dikatakan sebagai kombinasi skizofrenik dan simtom-simtom afektif, Kasanin mengajukan istilah psikosis skizoafektif untuk menggambarkan berbagai gangguan yang dialami para pasien tersebut. Diagnosis tersebut kemudian menjadi bagian konsep skozofrenia di AS dan dicantumkan dalam DSM-I (1952) dan DSM-II (1968). Konsep Skizofrenia lebih jauh diperluas dengan penambahan tiga praktik-praktik diagnosis.
1. Para ahli klinis AS mendiagnosis skizofrenia bila terjadi waham dan halusinasi. Karena simtom-simtom ini terutama delusi, juga terjadi dalam gangguan mood, banyak pasien yang menerima diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-II sebenarnya mengalami gangguan mood (Cooper dkk; 1972)
2. Para pasien yang dewasa ini didiagnosis mengalami gangguan kepribadian terutama skizotipal, skizoit, ambang dan gangguan kepribadian paranoid, didiagnosis sebagai skizofrenik berdasarka kriteria DSM-II.
3. Para pasien yang mengalami simtom-simtom skizofrenik yang terjadi secara akut dengan kesembuhan yang cepat didiagnosis menderita skizofrenia.
Berawal dari DSM-III (APA, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (APA. 1994) dan DSM-IV-TR (APA, 2000), konsep skizofrenia di AS mengalami perubahan besar dari defenisi terdahulu yang meluas menjadi lima praktik-praktik diagnosis. Kriteria-kriteria simtomatik tersebut dapat diterapkan untuk semua budaya. Meskipun para pasien di Negara-negara berkembang memiliki kejadian yang lebih akut dibanding para pasien di masyarakat industri.
Kategori Skizofrenia dalam DSM-IV-TR
Tiga tipe gangguan skizofrenik yang tercantum dalam DSM-IV-TR pertama kali dikemukakan oleh Kraeplin bertahun-tahun lalu.
1. Skizofrenia Disorganisasi
Bentuk hebefrenik skizofrenia yang dikemukakan Kraepelin disebut skizofrenia disorganisasi dalam DSM-IV-TR. Cara bicara mereka mengalami disorganisasi dan sulit dipahami oleh endengar. Pasien dapat berbicara secara idak runtut, menggabungka kata-kata baru, seringkali disertai kekonyolan atau tawa. Ia dapat memiliki afek datar atau terus-menerus mengalami perubahan emosi yang dapat meledak. Menjadi tangis atau tawa yang tidak dapat dipahami.
2. Skizofrenia Katatonik
Ciri utama pada skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan (motoric immobility), aktivitas motoric yang berlebihan, negativism yang ekstrim, mutism (sama sekali tidak mau berbicara atau berkomunikasi), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, echolia (mengulang ucapan orang lain) atau echopraxia (mengikuti tingkah laku orang lain). Motoric immobility dapat dimunculkan berupa catalepsy (waxy flexibility – tubuh menjadi sangat fleksibel untuk digerakkan atau diposisikan dengan berbagai cara (Setiadi, 2006).
3. Skizofrenia Paranoid
Dalam Setiadi (2006) disebutkan bahwa ciri utama skizofrenia tipe ini adalah adanya waham yang mencolok atau halusinasi auditori. Wahamnya biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya, waham kecemburuan, keagamaan, atau somatisasi) mungkin juga muncul. Wahamnya mungkin lebih dari satu tetapi tersusun dengan rapi disekitar tema utama. Halusinasi juga biasanya berkaitan dengan tema wahamnya.
4. Skizofrenia tipe Undifferentiated
Sejenis skizofrenia dimana gejala-gejala yang muncul sulit untuk digolongkan pada tipe skizofrenia tertentu.
5. Skizofrenia residual
Diagnosis skizofrenia tipe residual diberikan bila mana pernah ada paling tidak satu kali episode skizofrenia, tetapi gambaran klinis saat ini tanpa simtom positif yang meninjol. Terdapat bukti bahwa gangguan masih ada sebagaimana ditandai oleh adanya negative simtom atau simtom positif yang lebih halus.
B. Simtom Klinis Skizofrenia
Simtom-simtom yang dialami pasien skizofrenia mencakup gangguan dalam beberapa hal penting-pikiran persepsi perhatian; perilaku motoric; afek atau emosi; dan keberfungsian hidup. Bagi para ahli diagnostic DSM menentukan berapa banyak masalah yang harus ada dan seberapa tinggi kadarnya untuk menjustifikasi penegakan diagnosis. Durasi gangguan juga penting dalam menegakkan diagnosis. Simtom-simtom utama skizofrenia dalam tiga kategori : positif, negative dan disorganisasi. Kami juga menyajikan beberapa simtom yang tidak cukup sesuai untuk digolongkan kedalam ketiga kategori tersebut.
1. Simtom positif
Simtom-simtom positif mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi, seperti halusinasi dan waham. Simtom-simtom ini, sebagian terebesarnya, menjadi ciri suatu episode akut skizofrenia.
a) Delusi (waham)
Waham (delusi), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan, semacam itu merupakan simtom-simtom positif yang umum pada skizofrenia. Waham memiliki bentuk lain. Ada beberapa jenis delusi, yaitu :
1) Grandeur (waham kebesaran)
Pasien yakin bahwa mereka adalah seseorang yang sangat luar biasa, misalnya seorang artis terkenal, atau seorang nabi atau merasa diri sebagai Tuhan.
2) Guilt (waham rasa bersalah)
Pasien merasa bahwa mereka telah melakukan dosa yang sangat besar.
3) Ill health (waham penyakit)
Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang sangat serius.
4) Jealously (waham cemburu)
Pasien yakin bahwa mereka telah berlaku tidak setia.
5) Passivity (waham pasif)
Pasien yakin bahwa mereka dikendalikan atau dimanipulasi oleh berbagai kekuatana dari luar, misalnya oleh sesuatu pancaran sinar radio makhluk mars.
6) Persecution (waham kejar)
Paisen merasa dikejar-kejar oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mencelakainya.
7) Poverty (waham kemiskinan)
Pasien takut mereka mengalami kebangkrutan, dimana pada kenyataanya tidak demikian.
8) Reference (waham rujukan)
Pasien meras dibicarakan oleh orang lain secara luas, misalnya menjadi pembicaraan masyarakat atau disiarkan di televise.
b) Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah dimana tidak terdapat stimulus sensorik yang berkaitan dengannya. Halusinasi dapat berwujud penginderaan kelima indera yang keliru, tetapi yang paling sering adalah halusinasi dengar (auditory) dan halusinasi penglihatan (visual). Contoh halusianasi : pasien merasa mendengar suara-suara yang mengajaknya bicara padahal kenyataannya tidak ada orang yang mengajaknya bicara; atau pasien merasa melihat sesuatu yang pada kenyataannya tidak ada.
2. Simtom negative
Simtom-simtom negative skizofrenia mencakup berbagai deficit behavioral, seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas. Simtom-simtom ini cenderung bertahan melampaui satu episode akut dan memiliki efek parah terhadap kehidupan para pasien skozofrenia. Simtom-simtom ini juga penting secara prognostic; banyaknya simtom negative merupakan predictor kuat terhadap kualitas hidup yang rendah (ketidak mampuan kerja, hanya memiliki sedikit teman) dua tahun setelah dirawat rumah sakit (Ho dkk., 1998).
Ketika mengukur simtom-simtom negative, penting untuk memilah mana yang merupakan simtom-simtom skizofrenia yang sesungguhnya dan simtom-simtom yang disebabkan oleh beberapa faktor lain (Carpenter, Heinrichs & Wagman, 1988, dalam Gerald, 2012).
a) Avolition
Apati atau avolution merupakan kondisi kurangnya energy dan ketiadaan minat atau ketidak mampuan untuk tekun untuk melakukan apa yang biasanya merupakan aktivitas rutin. Pasien daoat menjadi tidak tertarik untuk berdandan dan menjaga kebersihan diri, dan rambut yang tidak tersisir, kuku kotor gigi yang tidak disikat dan pakaian yang berantakan.
b) Alogia
Merupakan suatu gangguan pikiran negative, alogia dapat terwujud dalam beberapa bentuk. Dalam miskin percakapan, jumlah total percakapan yang sangat jauh berkurang, jumlah percakapan memadai, namun hanya mengandung sedikit informasi dan cenderung membingungkan serta diulang-ulang.
c) Anhedonia
Ketidak mampuan untuk merasakan kesengangan. Ini tercermin dalam kurangnya minat dalam berbagai aktivitas rekreasional gagal untuk mengembangkan hubungan dekat denga orang laindan kurangnya minat dalam hubungan seks.
d) Afek datar
Pada pasien yng memiliki afek datar hampir tidak ada yang dapat memunculkan respon emosional. Pasien menatap dengan pandangan kosong, otot-otot wajah meraka kendur dan mata mereka tidak hidup. Ketika diajak bicara, pasien menjawab dengan suara datar dan tanpa nada. Konsep afek datar hanya merujuk pada ekspresi emosi yang tampak dan tidak pada pengalaman diri pasien, yang bisa saja sama sekali tidak mengalami pemiskinan.
e) Asosialitas
Yaitu mengalami ketidakmampuan parah dalam hubungan social. Mereka hanya memiliki sedikit teman, keterampilan social yang rendah, dan sangat kurang berminat untuk bekumpul bersama orang lain.
3. Simtom disorganisasi
Simtom disorganisasi mencakup disorganisai pembicaraan dan perilaku aneh (bizarre).
a) Disorganisasi pembicaraan(Disorganized Speech)
Juga dikenal sebagai gangguan berpikir formal, merujuk pada masalah dalam mengorganisasi berbagai pemikiran dan dalam berbicara sehingga pendengar dapat memahaminya. Bicara juga dapat terganggu karena suatu hal yang disebut asosiasi longgar atau keluar jalur (derailment) yang merupakan suatu aspek gangguan pikiran dimana pasien mengalami kesulitan untuk tetap berada pada satu topik dan terhanyut dalam serangkaian asosiasi yang dimunculkan oleh suatu pemikiran dari masa lalu. Asosiasi mental tidak diatur oleh logika, tetapi oleh aturan-aturan tertentu yang hanya dimiliki oleh pasien.
b) Perilaku aneh
Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat meledak dalam kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak dimengerti, memakai pakaian yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak atau dengan gaya yang konyol dan lain-lain. Mereka tampak kehilangan kemampuan untuk mengatur perilaku mereka dan menyesuaikannya dengan berbagai standar masyarakat. Mereka juga mengalami kesulitan melakukan tugas sehari-hari dalam hidup.
4. Simtom lain
Dua simtom penting dalam kelompok ini adalah :
a) Katatonia
Beberapa abnormalitass motoric menjadi ciri katatonia. Para pasien dapat melakukan suatu gerakan berulang kali, menggunakan urutan yang aneh dan kadang kompleks antara gerakan jari, tangan, dan lengan yang sering kali tampaknya memiliki tujuan tertentu. Beberapa pasien menunjukkan peningkatan yang tidak biasa pada keseluruhan kadar aktivitas, termasuk sangat riang, menggerakkan anggota badan secara liar, dan pengeluaran energy yang sangat besar. Di ujung lain spectrum ini adalah imobilitas katatonik : pasien menunjukkan berbagai postur yang tidak biasa dan tetap dalam waktu yang lama. Pasien katatonik juga memiliki fleksibiltas lilin-orang lain dapat menggerakkan anggota badan seorang pasien dalam posisi aneh dalam waktu yang lama.
b) Afek yang tidak sesuai
Afek yang tidak sesuai merupakan respon-respon emosional yang berada diluar konteks, misalnya tertawa ketika mendengar berita duka.
C. Etiologi Skizofrenia
Etiologi adalah semua faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan suatu gangguan atau penyakit. Skizofrenia dapat dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel yang saling berinteraksi. Diantara faktor multipel itu dapat disebut :
1. Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara kandung 7- 15%, anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-60%, kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68%(Maramis, 2009). Menurut hukum Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif (Lumbantobing, 2007).
2. Gangguan anatomic
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu : Lobus temporal, sistem limbik dan reticular activating system. Ventrikel penderita skf lebih besar daripada kontrol. Pemeriksaan MRI menunjukan hilangnya atau 9 berkurangnya neuron dilobus temporal. Didapatkan menurunnya aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus frontal. Pada pemeriksaan post mortem didapatkan banyak reseptor D2 diganglia basal dan sistem limbik, yang dapat mengakibatkan meningkatnya aktivitas DA sentral (Lumbantobing, 2007).
3. Biokimiawi
Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan dopamine, kateklolamin, norepinefrin dan GABA pada skf (Lumbantobing, 2007).
Setiadi (2006) menggolongkan etiologiskizofrenia ke dalam dua pendekatan, yaitu somatogenesis dan psikogenesis.
1. Somatogenesis
Pendekatan somatogenesis berusaha memahami kemunculan skizofrenia sebagai akibat dari berbagai proses biologis dalam tubuh.
a. Genetik
Berbagai peneltian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi seseorang, sangat kuat memengaruhi resiko seseorang mengalami skizofrenia. Studi pada keluarga telah menunjukkan bahwa semakin dekat relasi seseorang dengan pasien skizofrenia, makin besar pula resikonya ia mengalami penyakit tersebut. Namun, para kerabat kasus penderita skizofrenia tidak hanya memiliki gen yang sama, namun juga pengalaman yang sama (Davidson, 2012).
Studi adopsi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Heston (1996) berhasil memantau 47 orang anak yang dari para ibu yang menderita skizofrenia, yang sejak bayi dipisahkan dari ibu mereka dan dibesarkan oleh orang tua asuh. 50 peserta control diseleksi dari panti asuhan yang sama dengan anak-anak dari para ibu skizofrenia. Hasilnya menunjukkan bahwa 31 anak dari 47 anak yang memiliki ibu skizofrenik (66%) menerima suatu diagnosis DSM, dibandingkan hanya 9 anak dari 50 peserta control (18%). Tidak satupun dari peserta control yang mendapat diagnosis skizofrenia, namun 16,6% keturunan dari ibu skizofrenik juga mendapat diagnosis yang sama. Studi ini menunjukkan bahwa faktor- genetic berperan penting dalam terjadinya skizofrenia.
b. Biocemistry (Ketidakseimbangan Kimiawi Otak)
Beberapa bukti menunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal dari ketidak seimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter – yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan dibagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivisas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter tampaknya juga memainkan peranan.
c. Neuroanatomy (Abnormalitas Struktur Otak)
Berbagai teknik imaging, seperti MRI(Magnetic Resonance Imaging) dan PET telah membantupara ilmuwan untuk menemukan abnormalitas structural spesifik pada otak pasien skizofrenia yang kronis cenderung memiliki vertical otak yang lebih besar. Mereka juga memiliki voume jaringan otak yang lebih sedikit daripada orang normal. Pasien sizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat rendah pada lobus frontalis otak. Ada juga kemungkinan abnormalitas dibagian-bagian lain otak seerti di lobus temporalis, basal ganglia, thalamus, hippocampus, dan superior temporal gyrus.
MRI menunjukka perbedaan stuktural antara otak orang dewasa ormal di sebelah kiri dengan otak pasien skizofrenia di sebelah kanan. Otak pasien skizofrenia menunjukkan pembesaran ventrikal, namun tidak semua pasien skizofrenia menunjukkan abnormalias ini.
2. Psikogenesis
Pemahaman kemunculan skizofrenia menurut pendekatan psikologis (khususnya psikodinamik).
a. Pandangan Sigmund Freud
Menurut pandangan psikodinamika, skizofrenia mencerminkan ego yang dibanjirinya oleh dorongan-dorongan seksual primitif atau agresif atau impuls-impuls yang berasal dari id. Impuls-ilmpuls tersebut mengancam ego dan berkembang menjadi konflik intrapsikis yang kuat. Di bawah ancaman seperti itu, orang tersebut mundur ke periode awal dari tahapan oral, yang disebut sebagai narsisme primer. Pada periode ini bayi belum belajar bahwa dunia dan dirinya adalah hal yang berbeda. Karena ego menjembatani hubungan antara diri degan dunia luar, kerusakan pada fungsi ego ini berpengaruh terhadap adanya jarak terhadap realitas yang khas skizofrenia. Masukan dari id menyebabkan fantasi menjadi disalahartikan sebagai realitas, menyebabkan halusinasi dan waham. Impuls-impuls primitif mungkin juga membawa beban yang lebih berat daripada norma-norma sosial dan diekspresikan pada perilaku yang aneh, dan tidak sesuai secara sosial.
b. Pandangan Harry Stack Sullivan
Sullivan (1962), menekankan pentingnya hubungan ibu dan anak yang terganggu, dan mengemukakan argumentasi bahwa hal tersebut dpat menetapkan tahapan untuk penarikan diri secara perlahan-lahandari orang lain. Pada masa kanak-kanak awal, interaksi yang penuh kecemasan dan permusuhan antara anak dan orang tua membawa anak untuk mencari perlindungan pada dunia fantasi yang bersifat pribadi. Lingkaran setan pun terjadi: Semakin anak menarik diri, semakin berkurang kesempatan yang ada untuk membangun kepercayaan pada orang lain dan keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk membangun keintiman. Kemudian ikatan yang lemah antara anak dan orang lain mendorong kecemasan sosial dan penarikan diri yang lebih jauh. Siklus ini berlanjut sampai masa dewasa muda. Kemudian, dihadapkan dengan meningkatnya tuntutan di sekolah atau pekerjaan dan dalam hubungan intim, orang tersebut menjadi semakin dibanjiri dengan kecemasan dan menarik diri sepenuhnya ke dunia fantasi.
c. Pandangan aliran Ego Psychology
Federn (1952) mengatakan bahwa pasien skizofrenia memiliki batasan antara yang ada di dalam dan diluar karena ego boundary mereka tidak memadai lagi. Mahler (1952) mengatakan bahwa ego boundary berkembang dari kontak fisik antara ibu dan bayi. Tidak adanya stimulus ini pada dyad ibu-bayi mengakibatkan kesulitan pasien skizofrenia membedakan diri dengan orang lain. Kecenderungan pasien skizofrenia dewasa untuk menyatu secara psikologis dengan sekeliling mereka dapat dipahami sebagai usaha untuk membangun kembali kebahagiaan simbiotik di masa awal kehidupan. Namun demikian, kebersatuan ini juga mengakibatkan ketakutan akan penghancuran diri, mengakibatkan pasien skizofrenia merasa terjebak antara keinginan untuk bersatudan ketakutan akan disintegrasi.
d. Pandangan Object Relations Theory
Skizofrenia memutuskan relasi penderitanya dari orang-orang lain. Pasien skizofrenia dikatakan di dunianya sendiri, dunia yang tak dikenal oleh orang lain selain dirinya. Laing mengatakan bahwa penderita skizofrenia tidak merasa nyaman di dalam dunia, tidak mampu mengalami dirinya bersama dengan orang lain dan juga tidak mengalami dirinya sendiri utuh, melainkan terbelah dalam berbagai cara.Kondisi keterpisahan dari relasi denga orang lain merupakan akibat dari gangguan dari relasi paling awal, yaitu relasi antara bayi dan pengasunya.
3. Stres Psikologis dan Skizofrenia
Stres psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan biologis untuk menimbulkan penyakit ini. Data menunjukkan bahwa, sebagaimana pada banyak gangguan yang telah dibahas, peningkatan stres kehidupan meningkatkan kemungkinan kekambuhan. Para individu yang mengalami skizofrenia tampak sangat reaktif terhadap berbagai stresor yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Orang dengan gangguan skizofrenia sangat rentan terhadap stres sehari-hari.
a. Kelas Sosial dan Skizofrenia.
Angka kejadian tertinggi skizofrenia terdapat di berbagai wilayah pusat kota yang dihuni oleh masyarakat dari kelas-kelas sosial rendah. Hubungan antara kelas sosial dan skizofrenia tidak menunjukkan tingkat kejadian skizofrenia yang semakin tinggi seiring dengan semakin rendahnya kelas sosial. Namun, terdapat perbedaan yang sangat tajam antara jumlah orang yang menderita skizofrenia dalam kelas sosial terendah dan jumlah penderita skizofrenia pada berbagai kelas sosial lain.
Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki konsistensi, namun sulit untuk menginterpretasikannya secara kausal. Beberapa orang percaya bahwa stresor yang berhubungan dengan kelas sosial rendah dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap terjadinya skizofrenia yaitu hipotesis sosiogenik. Perlakuan merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya penghargaan serta kesempatan secara bersamaan dapat menjadikan keberadaan seseorang dalam kelas sosial terendah sebagai kondisi yang penuh stres yang membuat seseorang setidak-tidaknya yang memiliki predisposisi menderita skizofrenia.
b. Teori seleksi-sosial, membalikan arah kausalitas antara kelas sosial dan skizofrenia. Dalam perjalanan berkembangnya psikosis mereka, orang-orang yang menderita skizofrenia dapat terseret ke dalam wilayah kota yang miskin. Berbagai masalah kognitif dan motivasional yang semakin berkembang yang membebani para individu tersebut dapat sangat melemahkan kemampuan mereka untuk memperoleh pendapat sehingga mereka tidak mampu tinggal di wilayah lain. Atau, mereka memilih untuk pindah ke wilayah di mana mereka hanya menghadapi sedikit tekanan sosial dan di mana mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang mendalam.
Secara ringkas, data-data yang ada lebih mendukung teori seleksi sosial dibanding teori sosiogenik. Namun, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa lingkungan sosial tidak memiliki peran apapun dalam skizofrenia.
c. Keluarga dan Skizofrenia. Hubungan keluarga terutama antara ibu dan anak laki-laki, sebagai hal penting dalam terjadinya skizofrenia. Berbagai studi terhadap keluarga para indivdu yang menderita skizofrenia mengungkap bahwa dalam beberapa hal mereka berbeda dari keluarga normal. Beberapa temuan menunjukkan bahwa komunikasi buruk orang tua dapat berperan dalam etiologi skizofrenia. Penyimpangan komunikasi dalam keluarga ditemukan memprediksi terjadinya skizofenia kelak pada anak-anak mereka, memperkuat signifikansinya. Meskipun demikian, penyimpangan komunikasi bukan faktor etiologis spesifik bagi skizofrenia karena orang tua para orang dengan gangguan skizofrenia manik sama tingginya pada variabel ini. Lingkungan keluarga yang terganggu merupakan akibat dari adanya anak yang terganggu dalam keluarga. Dengan demikian, kita hanya dapat mengatakan dengan tidak pasti bahwa peran keluarga dalam etiologi skizofrenia telah dikethui.
Serangkaian studi yang dilakukan di London mengindikasikan bahwa keluarga dapat memberikan dampak penting terhadap penyesuaian orang dengan gangguan skizofrenia setelah mereka keluar dari rumah sakit. Lingkungan di mana orang dengan gangguan skizofrenia tinggal setelah keluar dari rumah sakit sangat berpengaruh pada seberapa cepat mereka akan kembali dirawat di rumah sakit.
D. Terapi Skizofrenia
1. Penanganan Biologis
a. Terapi Kejut dan Psychosurgery
Diawal tahun 1930-an praktik menimbulkan koma dengan memberika insulin dalam dosis tinggi diperkenalkan oleh Sakel (1938), yang mengklaim bahwa ¾ dari para pasien skizofrenia yang ditanganinya menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai temuan terkemudian oleh para peneliti lain kurang mendukung hal tersebut, dan terapi koma-insulin –yang beresiko serius terhadap kesehatan, termasuk koma yang tidak dapat disadarkan dan kematian– secara bertahap ditinggalkan. Pada tahun 1935, Moniz, seorang psikiater memperkealkan lobotomy prefrontalis, suatu proses pembedahan yang membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis dengan pusat otak bagian bawah.
b. Terapi Somatik (Medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efekitif untuk mengobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine).
1) Antipsikotik Konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain :
a) Haldol (haloperidol)
b) Mellaril (thioridazine)
c) Navane (thiothixene)
d) Prolixin (fluphenazine)
e) Stelazine ( trifluoperazine)
f) Thorazine ( chlorpromazine)
g) Trilafon (perphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic.Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistemdepot formulation ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsychotic.
2) Newer Atypcal Antipsycotic
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan antipsikotik konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain :
a) Risperdal (risperidone)
b) Seroquel (quetiapine)
c) Zyprexa (olanzopine)
3) Clozaril
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang pertama. Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel darah putihnya secara reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan. Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil. Sediaan Obat Anti Psikosis dan Dosis Anjuran
|
|
|
|
|
|
|
150-600mg/hariInjeksi25mg/ml
|
|
|
Tablet, 0,5 mg, 1,5 mg, 5 mg,
|
5-15 mg/hari Injeksi5mg/ml
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tablet 25 mg, Injeksi 25 mg/ml
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama
Newer atypical antipsycoic merupakn terapi pilihan untuk penderita Skizofrenia episode pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena tardivedyskinesia lebih rendah. Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja. Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan obat lain, para ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama pada Clozaril)
Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)
Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya. Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain, misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal.
Pengobatan Selama fase Penyembuhan
Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat setelah episode petama Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari satu episode, atau balum sembuh total pada episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering kekambuhan dan makin beratnya penyakit.
Efek Samping Obat-obat Antipsikotik
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang lama, sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang timbul. Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan otot-otot yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku penderita harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak dapat beristirahat. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya benztropine) bersamaan dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau mengobati efek samping ini. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding tongue, dan facial grimace. Kemungkinan terjadinya efek samping ini dapat dikurangi dengan menggunakan dosis efektif terendah dari obat antipsikotik. Apabila penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional mengalami tardive dyskinesia, dokter biasanya akan mengganti antipsikotik konvensional dengan antipsikotik atipikal.
Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan fungsi seksual, sehingga banyak penderita yang menghentikan sendiri pemakaian obat-obatan tersebut. Untuk mengatasinya biasanya dokter akan menggunakan dosis efektif terendah atau mengganti dengan newer atypical antipsycotic yang efek sampingnya lebih sedikit. Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia yang memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan antipsikotik atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini. Efek samping lain yang jarang terjadi adalah neuroleptic malignant syndrome, dimana timbul derajat kaku dan termor yang sangat berat yang juga dapat menimbulkan komplikasi berupa demam penyakit-penyakit lain. Gejala-gejala ini membutuhkan penanganan yang segera.
2. Penanganan psikologis
a. Terapi Psikodinamika
Psikoanalisis seperti Harry Stack Sullivan dan Frieda Fromm-Reichmann, mengadaptasi teknik psikoanalisis secara spesifik untuk perawatan skizofrenia. Namun, penelitian gagal menunjukan efektivitas terapi psikoanalisis maupun psikodinamika untuk skizofrenia. Dengan keterangan tentang penemuan-penemuan negatif, beberapa kritik mengemukakan bahwa penggunaan terapi psikodinamika untuk menangani skizofrenia tidaklah terjamin. Namun hasil yang menjanjikan dilaporkan untuk sebuah bentuk terapi individual yang disebut terapi personal yang berpijak pada model diatesis-stres. Tetapi personal membantu pasien beradaptasi secara lebih efektif terhadap stres dan membantu mereka membangun keterampilan sosial, seperti mempelajari bagaimana menghadapi kritik dari orang lain. Bukti-bukti awal menjelaskan bahwa terapi personal mungkin mengurangi rata-rata kambuh dan meningkatkan fungsi sosial, setidaknya di antara pasien skizofrenia yang tinggal dengan keluarga (Bustillo dkk., 2001; Hogarty dkk., 1997a, 1997b).
b. Terapi Perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan sosial untukmeningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dankomunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat diturunkan.
Meskipun sedikit terapis perilaku yang meyakini bahwa yang salah menyebabkan skizofrenia, intervensi berdasarkan pembelajaran telah menunjukan efektivitas dalam memodifikasi perilaku skizofrenia dan membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini untuk mengembangkan perilaku yang lebih adaptif yang dapat membantu mereka menyesuaikan diri secara lebih efektif untuk hidup dalam komunitas. Metode terapi meliputi teknik-teknik seperti (1) reinforcement selektif terhadap perilaku (seperti memberikan perhatian terhadap perilaku yang sesuai dan menghilangkan verbalisasi yang aneh dengan tidak lagi memberi perhatian); (2) token ekonomi, dimana individu padaunit-unit perawatan di rumah sakit diberi hadiah untuk perilaku yang sesuai dengan token, seperti kepingan plastik, yang dapat ditukar dengan imbalan yang nyata seperti barang-barang atau hak-hak istimewa yang diinginkan; dan (3) pelatihan keterampilan sosial, di amna klien diajarkan keterampilan untuk melakukan pembicaraan dan perilaku sosial lain yang sesuai melalui coaching (latihan), modeling, latihan perilaku, dan umpan balik.
c. Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan angka relaps adalahdramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % denganterapi keluarga.
d. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, danhubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia
e. Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah membantu dan menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien sebagai aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan oleh pasien. Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi.
3. Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumahsakit harus direncanakan.
Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga pasien tentang skizofrenia. Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.